Wednesday 15 June 2016

Penalaran

Dewasa ini, kemampuan bernalar telah menjadi objek penilaian yang penting. Lembaga-lembaga survey internasional seperti TIMSS, PISA, Cambridge, dan sebagainya telah memasukan kategori kemampuan bernalar di dalam penilaiannya. Mengapa hal ini begitu penting? Untuk dapat menjawab hal tersebut, maka penjelasan dapat dimulai dengan pengertian penalaran.

Shadiq (2004, hlm. 2) mengatakan bahwa penalaran merupakan suatu kegiatan atau proses atau aktivitas berfikir untuk menarik suatu kesimpulan atau membuat suatu pernyataan baru yang benar berdasarkan pada beberapa pernyataan yang kebenarannya telah dibuktikan atau diasumsikan sebelumnya. Lebih detail lagi dijelaskan oleh Bao et al. (2009, hlm. 1) tentang definisi penalaran ilmiah yang dibagi menjadi dua sudut pandang, yaitu sudut pandang literasi sains dan penelitian. Dilihat dari sudut pandang literasi sains, penalaran ilmiah merupakan keterampilan kognitif yang diperlukan untuk memahami dan mengevaluasi informasi secara teoritis, statistika, dan kausal hipotesis. Sedangkan dilihat dari sudut pandang penelitian, penalaran ilmiah merupakan kemampuan berfikir atau bernalar yang meliputi kemapuan dalam melakukan penyelidikan (inkuiri), eksperimen, evaluasi bukti, inferensi, dan argumentasi yang mendukung pembentukan dan modifikasi konsep dan teori tentang alam dan sosial. Dari definisi-definisi tersebut, maka keterampilan-keterampilan yang terlibat ketika seorang siswa sedang bernalar adalah merancang pertanyaan ilmiah, merancang cara atau percobaan untuk menjawab pertanyaan ilmiah, menganalisis data, dan menginterpretasikan hasilnya (The National Research Council dalam Chen, 2014). Tentu saja keterampilan-keterampilan tersebut sangat dibutuhkan oleh siswa untuk dapat memecahkan suatu masalah dan mengambil suatu keputusan atas suatu permasalahan.

Bernalar bukan hanya sekedar mengingat, memahami, dan berhitung. Akan tetapi, untuk bernalar seorang siswa harus mampu menganalisis, mengevaluasi, bahkan menghasilkan sesuatu yang baru. Dengan kata lain, kemampuan bernalar memerlukan kemampuan berfikir tingkat tinggi. Penalaran terbagi menjadi dua, yaitu penalaran induktif (Inductive Reasoning) dan penalaran deduktif (Deductive Reasoning) (Atkinson, 2011, hlm. 11; Shadiq, 2004, hlm. 3). Shdiq (2004, hlm. 3) menjelaskan bahwa penalaran induktif adalah suatu proses atau aktivitas berfikir untuk menarik suatu kesimpulan atau membuat suatu pernyataan baru yang bersifat umum (general) berdasarkan beberapa pernyataan khusus yang sudah diketahui. Atkinson (2011, hlm. 91) mengatakan bahwa penalaran deduktif merupakan proses menemukan kebenaran tertentu dari kebenaran umum. Selain dua jenis penalaran di atas, Pierce dalam Fischer (2001, hlm. 4) menambahkan satu jenis penalaran terbaru, yaitu penalaran abduktif (Abductive Reasoning).

Untuk bagaimana ketiga jenis penalaran tersebut berperan di dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan proses pembelajaran, khususnya di bidang kimia, akan Saya jelaskan di postingan selanjutnya. :D


Referensi:

Atkinson, W. W. (2011). The Art of Logical Thinking : The Laws of Reasoning. Hollister: Roger L. Cole
Bao, L. et al (2009). Learning and Scientific Reasoning. AAAS, 323, hlm. 586 – 587.
Chen, C. T. and She, H. C. (2014). The Effectiveness of Scientific Inquiry With/Without Integration of Scientific Resoning. International Journal of Science and Mathematics Education.  
Fischer, H. R. (2001). Abductive Reasoning as A Way of  Worldmaking. Foundation of Science, 2001, 6 (4), hlm. 361 – 383.
Shadiq, F. (2004). Pemecahan Masalah, Penalaran, dan Komunikasi (Disampaikan pada Diklat Instruktur/Pengembang Matematika SMA Jenjang Dasar Pada Tanggal 6s.d. 19 Agustus 2004 di PPPG Matematika. Yogyakarta: Pusat Pengembangan Penataran Guru (PPPG) Matematika.
 

No comments:

Post a Comment